Nyaman Atau
Terbaik?
Malam sudah semakin pagi, pikiran masih saja terasa senja. Pergelutan yang masih membekas di dalam kepala. Perseteruan antara akal pikiran dan hati, seperti membenturkan kata ‘nyaman’ dan ‘terbaik’. Belum bisa diakhiri hingga detik ini, hampir dua pecan berlalu namun belum juga aku temukan dikedua belah pihak. Terkadang dapat penyelesaian terbaik, tapi hati tidak merasa nyaman. Menemukan jalan kenyamanan, tapi melepas kebaikan.
Oh life…
Berangkat dari satu sisi lini, kini dua kosa kata itu
seperti menjadi virus dan mulai mengembangbiakan permasalahnya keseluruh lini
kehidupan. Semakin tidak tenang, tidur tidak pernah lelap, mimpi selalu gelap,
kehidupan hanya seperti air tergenang. Kegelisahan akan waktu jauh lebih
membuat cemas, dia seperti tidak merberikan dispensasi untuk keadaan yang
memaksa pikiran dan hati bertindak, menelaah, dan mengakaji semua hal ini.
Seakan-akan semuanya harus ditindak dengan cepat. Padahal ini menyangkut masa
depan, masa yang mungkin akan banyak menghabiskan pasir di pesisir pantai.
Sepertinya bisa dikatakan buntu, tapi hati berkata
tentang keimanan. Begitupun dengan akal, jika buntu ya buatlah jalan terusanya.
Kepada siapa lagi? Ketika kata hati dan kata-Nya tidak lagi sepadu haruskah
tetap dijalankan? Semua berkata itu adalah yang terbaik, namun nyamankah kita?
Ada jalan yang nyaman namun itu bukan opsi yang terbaik, masih pantaskah
dipilih? Berangkat dari pernyataan atau pertanyaan tersebut, seakan-akan
menggambar ikhlas adalah pilihan. “Setia itu pilihan, kalo selingkuh
adalah kesempatan…”
Memang tidak banyak orang yang mengalami hal ini,
mungkin hanya sebagian mereka yang benar-benar sadar saja dan sebagianya adalah
mereka yang bisa dikatakan ‘Brain Overdoze’. Hidup itu harus punya rencana, kalo
gak punya mendingan mati aja besok. Jadi jangan merasa freak dengan
situasi seperti ini. Ingatkan, manusia yang bermasalah adalah manusia yang
berkualitas. Tapi bagi mereka yang memilih untuk menyelesaikan masalahnya.
Seperti permainan game, kamu tidak akan stagnan berada di level tersebut.
Ketika sudah menyelesaikan stage pertama maka akan naik ke stage kedua dan
seterusnya dengan level yang semakin meningkat. Jadi terpikir “bisakah hidup
ini tanpa ada masalah?” jawabanya adalah “BISA”. Simpel aja, masalah yang
sebenarnya itu ada di dalam pikiran. Ketika kamu tidak pernah berpikir itu
adalah sebuah masalah makan itu tidak akan menjadi masalah. Tapi ketika kamu
berpikir itu adalah sebuah masalah yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan,
maka itu akan menjadi masalah.
Jadi kesimpulan gilanya adalah “Orang yang suka buat
masalah dan dapat menyelesaikanya dengan baik juga maka dia bisa dikategorikan
sebagai manusia yang berkualitas.” Tapi berapa banyak orang berpikir seperti
itu, hidup diatas garis aman lebih laris dari pada yang keluar dari garis.
Katanya sih hidup ini seperti sebuah belati, semakin ditempa semakin tajam.
Tapi kalo ditempa terus-terusan ya lama-lama bisa hancur dan bahkan semakin
rentan untuk patah.
Kembali lagi dengan kata nyaman, berapa banyak orang
yang memilih hidup nyaman dari pada terbaik? Dua kosa kata ini benar-benar
membelah kepala sampai dada saya. Menguak isinya dan keluar pertanyaan pertama
dari sana “Siapa saya sebenarnya?”. Ketika mengejar kata terbaik semuanya saya
lakukan berdasarakan atas kata-Nya, saya lepaskan segala idealis dan kenyamanan
yang sudah saya bangun untuk menjadi yang terbaik dalam hidup saya. Lantas,
nyamankah? Dengan diri yang baru saja hijrah, justru tersesat setelah itu. Api
yang pernah menuntunku dia seperti padam setelah itu. Kemana lagi jalannya? Aku
tidak merasa tersesat, hanya merasa jalan yang aku lalui semakin temaram. “Hey,
where are you?”
Aku merasa baik saat itu, meski tidak nyaman. Siapa
yang bisa nyaman ketika pemiliki jiwa muda yang bergairah dan enerjik tapi
hidupmu adalah sebuah robot. No freedom, only rules side your bed. Saya
benar-benar kehilangan siapa saya, jiwa seni yang selalu menyuarakan kebebasan
tapi untuk hidupku sendiri saja tidak merdeka? Masih mau dibilang nyaman hidup
dengan program yang seperti itu?
Berontaklah otak kanan, jiwa pangeran kembali
berkumandang. Tidak sampai satu oktaf dan selesai menyelesaikan masalah nyaman
atau terbaik pilihan baru datang untuk dipaksa memilih. Belum sempat hati
sendiri memilih kata-Nya sudah memutuskan. Mana yang harus diikuti? Kata hati
atau kata-Nya? Bagaimana ini bisa jadi ikhlas jika itu lahir dari sebuah
keterpaksaan, haruskah sebuah kebaikan lahir dari sebuah keterpaksaan?
Tidak ingin bermaksud menentang yang Maha Kuasa, tapi
bisakah aku benar-benar kembali merdeka. Mengibarkan bendera yang pernah dulu
aku kibarkan, kejayaan, kemerdekaan dan kebebasan yang membuat setiap hidupku
adalah harga mati untuk tidak disia-siakan sebelum aku disucikan di neraka dan
menuju keabadian bahtera dalam surga. Andai kata hati bisa berjabat dengan
kata-Nya, andai nyaman dan terbaik bukanlah sebuah pilihan, mungkin aku tidak
akan lagi memikirkan ini.
Mungkin terlalu banyak kosa kata ‘tapi’, sehingga
membuat semua masalah ini tidak berujung juga. Karena terlalu lama berpikir
kebenaran dan tapi akhirnya dipilihkan juga. Sayangnya diberi bantuan pada
kenyataannya bukan yang nyaman dihati, tapi itu adalah yang terbaik dan memang
baik. Tidak bisakan setiap orang menjadi dirinya sendiri? Norma-norma yang mendangkalkan
pandangan dan pikiran, semua berakhir pada ketersesatan. Satu jalan lurus
menjadi pilihannya, dan surga selalu berada dibelakang neraka.
Pepatah tua mengatakan “Cinta pertama adalah cinta
terindah, cinta terkahir adalah cinta terbaik.” Tapi kita lebih memilih cinta
yang nyaman, dimanakah dia berada? Cinta pertama lahir berdasarkan hati, fitrah
dalam kemanusiaan. Bisa jadi membuat kita nyaman, karena tanpa sadara itu
keindahan yang mungkin sering membuat kita lupa dengan janji keindahan surga. Cinta
terakhir seperti sebuah petaka, dikatakan terbaik karena pasti dihadapkan
dengan pilihan. Sulit memang memilih yang terbaik, tapi memilih yang nyaman itu
mudah, karena bisa dirasakan secara langsung dan dapat terlihat. Mana yang akan
kamu pilih?
Berangkat dari kesadaran ini ini sodara-sodara, saya
tersadar. Ketika dihadapakan sebuah pilihan hati mungkin yang Maha Cinta lebih
paham. Saya berdoa untuk tidak mencinta, tapi setelah itu saya berdoa kembali
apakah saya masih bisa mencinta? Kata-Nya menuntun saya untuk mencintai yang
terbaik, saya rombak segala lini kehidupan untuk hidup yang lebih baik. Tapi
yang terjadi saya mulai merasa tidak nyaman, karena ini bukan saya yang
sebenarnya. Saya melupakan kenyamanan, yang pada umumnya orang-orang utamakan.
Nyaman dan terbaik seperti dua tabung yang harus saya
isi bersamaan, seandainya kedua hal ini berada di satu tabung, pasti tidak ada
lagi keraguan. Agama bilang, segala yang ragu-ragu itu sebaiknya ditinggalkan
saja. Ketika saya harus meninggalakan segala keragu-raguan dalam hidup ini,
berarti saya harus meninggalkan segala mimpi dikehidupan ini. Perencanaan dan
perencanaan semuanya hilang, ya sudah jika tidak ingin berencana sebaiknya mati
saja besok. Bukankah tentang surga dan neraka adalah kepastian? No, aku masih
ingin hidup.
So, saya juga bingung apakah ini sebuah
tulisan sastra atau sebuah curahan hati. Tidak tahu apakah ini menghasilkan
sebuah komersil atau tidak, kadang saya menulis untuk sebuah pesan-pesan yang
tersirat agar mereka paham. Terlalu banyak pragmatic memang, tapi terimakasih
sudah membacanya. Saya publikasikan bukan untuk mendikte atau mengajarkan, tapi
untuk memikirkan. “kita adalah legenda dalam kehidupan kita sendiri. Arahkan
senapanmu kearah cermin kamu berdiri, disanalah musuh terbesar yang harus kamu
kalahkan.”
#sm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar